Ketika Kamu Terlalu Peduli dengan Satu Hal

Ada orang yang sangat peduli tentang “chemistry” ketika berteman, “Apakah kita memiliki chemistry atau tidak?” . Baginya jika tidak ber-chemistry, sebaiknya jangan dilanjutkan..!! atau sesuatu yang tidak diinginkan akanterjadi dikemudian hari.

Tapi ada juga orang yang tidak peduli dan tidak pernah mengukur chemistry tersebut. Bagi mereka, berteman ya berteman saja, tidak perlu ada konsep chemistry yang rumit.

Ada juga orang yang sangat peduli tentang bagaimana performa pekerjaan atau akademisnya. Sehingga, masukan dari koleganya terasa seperti petir di siang bolong dan kritikan dari atasannya terasa seperti sedang dicabut nyawanya. Begitu menyakitkan..!! Akhirnya, ia melakukan segala cara agar itu tidak terjadi, ia mulai menjadi perfeksionis yang berlebih.

Tapi itu tidak terjadi di semua orang. Banyak juga mereka yang bodo amat..!!. Bagi mereka pekerjaan itu hanya satu keping puzzle dalam hidup yang tidak perlu terlalu diambil pusing. 

Kisah lain, ada orang yang sangat peduli akan mencintai dan dicintai pasangannya. Ini membuatnya sensitif terhadap sikap dan tindak tanduk pasangannya. Baginya, pasangannya harus selalu sesuai kriterianya, 1) selalu memeluk dan menggandeng tangan 2) selalu memanggil dengan perkataan mesra 3) selalu membantu dan siap sedia 4) selalu memberi hadiah 5) selalu memprioritaskan waktu untuknya. Ya.. kurang lebih harus memenuhi semua love language yang tersedia..!!. Baginya jika itu tidak dilakukan artinya dia tidak dicintai dan itu adalah kiamat kecil. 

Kembali, tapi itu tidak terjadi disemua orang. Menariknya dia justru bertemu dengan pasangan yang tidak terlalu concern dengan berbagai aspek tersebut. Pasangannya tersebut cenderung flat aja, dia punya cara sendiri untuk mencintai seseorang. Nah loh..!! Jadilah pernikahan itu penuh friksi.

Entah itu kepedulian atau kekhawatiran, jelas semua itu adalah hasil pembelajaran dan bicara banyak tentang sejarah panjang hidupmu. Bagaimana orang tuamu mendidikmu, saudaramu memperlakukanmu, interaksimu dengan pengasuh, permainanmu dengan teman, cerita yang sering kamu dengar, film yang kamu tonton, buku yang kamu baca dan lain sebagainya. Itu semua membentuk sistem keyakinan ( belief system ) yang berwujud pada kepedulianmu.

Kita ambil salah satu dari contoh diatas. Bisa jadi mereka yang sangat peduli terhadap performa kerja karena dari kecil dia belajar untuk meyakini bahwa “Saya adalah orang gagal”, “Saya tidak bernilai”. Orang tuanya terlalu kritis terhadap sikap dia di rumah dan nilai di sekolah. Jika ada instruksi yang salah dieksekusi, maka anak ini akan dimarahi habis-habisan. Di sekolah, jika ada nilai yang turun, maka semalaman dia kena ceramah di rumah.

Tumbuh besar dengan belief tersebut, anak ini mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Ia tidak ingin belief  tersebut menjadi kenyataan, ia ingin menutupi dan menguburnya dengan prestasi dan apresiasi orang-orang di sekitarnya sekarang. Namun, tanpa sadar hal ini berkembang semakin jauh. Ia menjadi sangat cemas dengan performa kerjanya. Baginya tidak boleh ada kesalahan apalagi kegagalan. Dan lambat laun, standar kegagalannya menjadi semakin sempit dan kaku. Baginya hal kecil yang tidak penting bisa menjadi kegagalan besar.

Dalam terapi, terutama Cognitive Behavioral Therapy ( CBT ), belief tersebut adalah salah satu target utama yang perlu direspons. Jika dia bisa memaknai dengan tepat, maka perilaku yang maladaptifpun akan berkurang. Misalnya, setelah terapi CBT dia bisa bilang “saya bukan orang yang gagal, saya punya keterampilan yang tidak semua orang punya, saya ada keberhasilan juga di beberapa hal”, maka itu bisa membuatnya lebih fleksibel. Ia tidak lagi terlalu khawatir belebihan terhadap performa kerjanya. Ia bisa tetap fokus dan bekerja secara penuh, namun bisa mentoleransi jika hasilnya masih terdapat ketidaksempurnaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *